Kontroversi Pernyataan Istri Kuwu Sibubut yang Merendahkan Media: Menyoroti Ketegangan dengan Koran Intijaya

Kontroversi Pernyataan Istri Kuwu Sibubut yang Merendahkan Media: Menyoroti Ketegangan dengan Koran Intijaya

Media Unit 1
Minggu, 09 Februari 2025


Cirebon, – Kontroversi muncul di Desa Sibubut, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, setelah pernyataan kontroversial istri Kuwu Sibubut (Suratmi), yang dianggap merendahkan profesi jurnalistik dan media. Insiden ini berawal dari kedatangan Moh Kozim, Kepala Biro dari Koran Intijaya, yang datang mengunjungi kantor Kuwu untuk menyampaikan edisi terbaru koran tersebut pada Selasa, 4 Februari 2025. Namun, pertemuan yang awalnya diharapkan dapat membangun hubungan baik antara media dan pemerintah desa itu malah berakhir dengan ketegangan.

Menurut keterangan dari Moh Kozim, kedatangannya disambut dengan sikap yang sangat tidak ramah dari Suratmi, istri dari Kuwu Sibubut. "Saat saya datang dengan membawa edisi terbaru Koran Intijaya, saya justru mendapat perlakuan yang mengejutkan. Ibu Suratmi langsung mengucapkan kata-kata yang merendahkan, bahkan dalam bahasa daerah, yang kurang pantas dan sangat menyinggung," ujar Kozim.

Salah satu ucapan yang memicu kontroversi adalah pernyataan Suratmi yang mengatakan, "Koran kanggo bungkus apa kita bli butuh koran?" yang berarti "Koran untuk bungkus apa, saya tidak butuh koran". Kalimat ini disampaikan dengan nada merendahkan di hadapan beberapa orang yang hadir saat itu. Tak hanya itu, ketika Kozim berusaha mendatangi kediaman Kuwu setelah kejadian tersebut, Suratmi dikabarkan tidak hanya mengabaikan kedatangannya, tetapi juga melontarkan kalimat yang dianggap sangat menghina. "Laka kuwu lanange arep apa maning sirae?" yang artinya “Tidak ada kuwunya, mau apa lagi kamunya?” dengan nada yang sangat ketus.

Pernyataan tersebut menuai reaksi keras dari berbagai kalangan, khususnya dari dunia jurnalistik. Salah satu pimpinan media online mediaunit-1.com Cephy Dominggus mengatakan bahwa "jika memang benar mengatakan seperti itu, perbuatan Suratmi sangat mencoreng citra seorang publik figur, terlebih lagi sebagai istri Kuwu, yang seharusnya bisa lebih bijak dan menjaga sikap di depan publik. "Dia itu istri Kuwu, tentunya harus bisa memposisikan dirinya sebagai seorang publik figur. Sebagai seorang ibu negara, ucapan dan tindakannya harus terjaga. Sebagai insan pers, saya sangat menyayangkan sikap seperti ini. Apalagi yang dihadapi adalah Kepala Biro dari sebuah media, yang sudah seharusnya dihargai. Ini sangat tidak pantas," ujarnya dengan nada tegas.

Pernyataan ini mengundang perhatian, mengingat peran istri Kuwu sebagai figur publik yang seharusnya memberikan contoh yang baik kepada masyarakat. Tak hanya itu, pihak media juga menilai sikap Suratmi bisa memperburuk citra pemerintah desa yang seharusnya bersinergi dengan media dalam menjalankan fungsinya.

Apakah Kuwu Sibubut Tidak Berdaya?
Beberapa pihak juga mempertanyakan sikap Kuwu Sibubut yang diduga tidak menanggapi kejadian tersebut dengan serius. “Jangan-jangan Kuwu Sibubut sendiri takut sama istrinya. Tindakannya bisa saja menggambarkan ketidakberdayaan di dalam rumah tangga maupun dalam menjalankan pemerintahan desa,” ujar seorang sumber yang mendalami situasi tersebut. Banyak yang merasa bahwa Abidin, selaku Kuwu Sibubut, seharusnya memberikan respon yang lebih tegas terhadap sikap istri yang merendahkan media, mengingat peran media sebagai mitra pemerintah sangat vital.

Hingga berita ini diturunkan, Kuwu Abidin belum memberikan klarifikasi resmi mengenai pernyataan istrinya. Masyarakat dan pihak media menunggu sikap dari Kuwu yang diharapkan dapat segera memberikan klarifikasi dan menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Banyak yang berharap kejadian ini tidak berkembang menjadi lebih besar dan bisa diselesaikan dengan saling menghargai antara pihak pemerintah desa dan media.

Kejadian ini menjadi peringatan bagi semua pihak, khususnya publik figur dan pejabat pemerintahan desa, untuk lebih bijaksana dalam berucap dan bertindak, agar tercipta hubungan yang harmonis dan saling menghormati antara masyarakat, pemerintah, dan media.

(Redaksi)